BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini akhlak dalam tasawuf sangat dibutuhkan dalam setiap manusia khususnya bagi seorang muslim. oleh karena itu khususnya bagi orang muslim haruslah tau apa arti ajaran-ajaran sufi atau pemahaman dealan dalam aliran sufi itu, agar dalam mengamalkan tepat pada sasaran yang sesuai dengan kaidah agama, karena, ajaran-ajaran sufi merupakan pemahaman agama yang berdasarkan pada Al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW, pada zaman sekarang banyak dari golongan-golangan umat muslim yang menyimpang dari ajaran agama, maka dari itu untuk menjadi pedoman atau contoh kami akan menjelaskan apa yang terdapat dalam ajaran-ajaran sufi yang dapat kita teladani
Oleh karena itu agar lebih jelas tentang memahami ajaran-ajaran sufi, kami akan mengulas lebih lanjut tentang ajaran-ajaran sufi tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka pertmasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa arti dari khouf dan roja’?
2. Apa arti dari mahabbah?
3. Apa arti dari hulul dan ittihad?
4. Apa arti dari wihdat al wujud?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa arti dari khouf dan roja’.
2. Untuk mengetahui apa arti dari mahabbah.
3. Untuk mengetahui apa arti dari hulul dan ittihad.
4. Untuk mengetahui apa arti dari wihdat al wujud.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Khouf dan Roja’
Makna khouf dan roja’secara bahasa
Roja’ berarti mengharapkan. Apabila dikatakan rojaahu maka artinya ammalahu : dia mengharapkannya (lihat Al Mu’jam Al Wasith, 1/333) Syaikh Utsaimin berkata: “Roja’ adalah keinginan seorang insan untuk mendapatkan sesuatu baik dalam jangka dekat maupun jangka panjang yang diposisikan seperti sesuatu yang bisa digapai dalam jangka pendek.” (lihat Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 57-58) Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan berkata: “Asal makna roja’ adalah menginginkan atau menantikan sesuatu yang disenangi…” (Hushuulul Ma’muul, hal. 79). Khouf artinya perasaan takut yang muncul terhadap sesuatu yang mencelakakan, berbahaya atau mengganggu (lihat Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 56)
Makna khouf dan roja’ secara istilah
Syaikh Zaid bin Hadi Al Madkhali berkata: “Roja’ adalah akhlak kaum beriman. Dan yang dimaksud dengannya adalah menginginkan kebaikan yang ada di sisi Allah ‘azza wa jalla berupa keutamaan, ihsan dan kebaikan dunia akhirat. Dan roja’ haruslah diiringi dengan usaha menempuh sebab-sebab untuk mencapai tujuan”(Thariqul Wushul, hal. 136) Adapun roghbah ialah rasa suka mendapatkan sesuatu yang dicintai (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 59). Maka apabila seseorang berdoa dan menyimpan harapan yang sangat kuat tercapainya keinginannya maka inilah yang disebut dengan roghbah (Hushuulul Ma’muul, hal. 87)
Sedangkan makna khouf secara istilah adalah rasa takut dengan berbagai macam jenisnya, yaitu: khouf thabi’i, dan lain sebagainya (akan ada penjelasannya nanti insya Allah) Adapun khosyah serupa maknanya dengan khouf walaupun sebenarnya ia memiliki makna yang lebih khusus daripada khouf karena khosyah diiringi oleh ma’rifatullah ta’ala. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Faathir: 28) Oleh sebab itu khosyah adalah rasa takut yang diiringi ma’rifatullah. Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun aku, demi Allah… sesungguhnya aku adalah orang yang paling khosyah kepada Allah di antara kalian dan paling bertakwa kepada-Nya.” (HR. Bukhari, 5063, Muslim, 1108) Madaarijus Salikin,1/512, dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal. 79). Ar Raaghib berkata: Khosyah adalah khouf yang tercampuri dengan pengagungan. Mayoritas hal itu muncul didasarkan pada pengetahuan terhadap sesuatu yang ditakuti… (Al Mufradaat hal 149, dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal. 89) Adapun rohbah adalah khouf yang diikuti dengan tindakan meninggalkan sesuatu yang ditakuti, dengan begitu ia adalah khouf yang diiringi amalan… (Hushuulul Ma’muul, hal. 87)
Peranan roja’ dan khouf
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Ketahuilah sesungguhnya penggerak hati menuju Allah ‘azza wa jalla ada tiga: Al-Mahabbah (cinta), Al-Khauf (takut) dan Ar-Rajaa’ (harap). Yang terkuat di antara ketiganya adalah mahabbah. Sebab rasa cinta itulah yang menjadi tujuan sebenarnya. Hal itu dikarenakan kecintaan adalah sesuatu yang diharapkan terus ada ketika di dunia maupun di akhirat. Berbeda dengan takut. Rasa takut itu nanti akan lenyap di akhirat (bagi orang yang masuk surga, pent). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak ada rasa takut dan sedih yang akan menyertai mereka.” (QS. Yunus: 62) Sedangkan rasa takut yang diharapkan adalah yang bisa menahan dan mencegah supaya (hamba) tidak melenceng dari jalan kebenaran. Adapun rasa cinta, maka itulah faktor yang akan menjaga diri seorang hamba untuk tetap berjalan menuju sosok yang dicintai- Nya. Langkahnya untuk terus maju meniti jalan itu tergantung pada kuat-lemahnya rasa cinta. Adanya rasa takut akan membantunya untuk tidak keluar dari jalan menuju sosok yang dicintainya, dan rasa harap akan menjadi pemacu perjalanannya. Ini semua merupakan kaidah yang sangat agung. Setiap hamba wajib memperahtikan hal itu…”(Majmu’ Fatawa,1/95-96, dinukil dari Hushulul Ma’muul, hal. 82-83). Syaikh Zaid bin Hadi berkata: “Khouf dan roja’ saling beriringan. Satu sama lain mesti berjalan beriringan sehingga seorang hamba berada dalam keadaan takut kepada Allah ‘azza wa jalla dan khawatir tertimpa siksa-Nya serta mengharapkan curahan rahmat-Nya…” (Taisirul Wushul, hal. 136. lihat juga Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 60)
Apabila rasa takut hilang
Syaikhul Islam berkata: “Apabila seorang insan tidak merasa takut kepada Allah maka dia akan memperturutkan hawa nafsunya. Terlebih lagi apabila dia sedang menginginkan sesuatu yang gagal diraihnya. Karena nafsunya menuntutnya memperoleh sesuatu yang bisa menyenangkan diri serta menyingkirkan gundah gulana dan kesedihannya. Dan ternyata hawa nafsunya tidak bisa merasa senang dan puas dengan cara berdzikir dan beribadah kepada Allah maka dia pun memilih mencari kesenangan dengan hal-hal yang diharamkan yaitu berbuat keji, meminum khamr dan berkata dusta…” (Majmu’ Fatawa, 1/54,55) dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal.77)
Roja’ dan khouf yang terpuji
Syaikh Al ‘Utsaimin berkata: “Ketahuilah, roja’ yang terpuji hanya ada pada diri orang yang beramal taat kepada Allah dan berharap pahala-Nya atau bertaubat dari kemaksiatannya dan berharap taubatnya diterima, adapun roja’ tanpa disertai amalan adalah roja’ yang palsu, angan-angan belaka dan tercela.” (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 58) Syaikhul Islam berkata: “Khouf yang terpuji adalah yang dapat menghalangi dirimu dari hal-hal yang diharamkan Allah. “Sebagian ulama salaf mengatakan: “Tidaklah seseorang terhitung dalam jajaran orang yang takut (kepada Allah) sementara dirinya tidak dapat meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan.” (Al Mufradaat fii Ghariibul Qur’an hal. 162 dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal. 79)
Roja’ dan khouf adalah ibadah
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Orang-orang yang diseru oleh mereka itu justru mencari jalan perantara menuju Rabb mereka siapakah di antara mereka yang bisa menjadi orang paling dekat kepada-Nya, mereka mengharapkan rahmat-Nya dan merasa takut dari siksa-Nya.” (QS. al-Israa’: 57) Allah menceritakan kepada kita melalui ayat yang mulia ini bahwa sesembahan yang dipuja selain Allah oleh kaum musyrikin yaitu para malaikat dan orang-orang shalih mereka sendiri mencari kedekatan diri kepada Allah dengan melakukan ketaatan dan ibadah, mereka melaksanakan perintah-perintah-Nya dengan diiringi harapan terhadap rahmat-Nya dan mereka menjauhi larangan-larangan-Nya dengan diiringi rasa takut tertimpa azab-Nya karena setiap orang yang beriman tentu akan merasa khawatir dan takut tertimpa hukuman-Nya (lihat Al Jadiid, hal. 71) Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Maka janganlah kalian takut kepada mereka (wali setan), dan takutlah kepada-Ku, jika kalian beriman.” (QS. Ali ‘Imran: 175) Di dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa orang-orang yang beriman tidak boleh merasa takut kepada para wali syaithan dan juga tidak boleh takut kepada manusia sebagaimana Allah ta’ala nyatakan, “Janganlah kamu takut kepada manusia dan takutlah kepada-Ku.” (QS. al-Maa’idah: 44) Rasa takut kepada Allah diperintahkan sedangkan takut kepada wali syaithan adalah sesuatu yang terlarang (Majmu’ Fatawa, 1/57 dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal. 78)
Roja’ yang disertai dengan ketundukan dan perendahan diri
Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Roja’ yang disertai dengan perendahan diri dan ketundukan tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla. Memalingkan roja’ semacam ini kepada selain Allah adalah kesyirikan, bisa jadi syirik ashghar dan biasa jadi syirik akbar tergantung pada isi hati orang yang berharap itu…” (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 58)
Mengendalikan khouf dan roja’
Syaikh Al ‘Utsaimin pernah ditanya: “Bagaimanakah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam urusan roja’ dan khouf ?” Beliau menjawab: “Para ulama berlainan pendapat apakah seseorang harus mendahulukan roja’ ataukah khouf ke dalam beberapa pendapat: Imam Ahmad rahimahullah berpendapat: “Seyogyanya rasa takut dan harapnya seimbang, tidak boleh dia mendominasikan takut dan tidak boleh pula mendominasikan roja’.” Beliau rahimahullah berkata: “Karena apabila ada salah satunya yang lebih mendominasi maka akan binsalah orangnya.” Karena orang yang keterlaluan dalam berharap akan terjatuh dalam sikap merasa aman dari makar Allah. Dan apabila dia keterlaluan dalam hal takut maka akan terjatuh dalam sikap putus asa terhadap rahmat Allah. Sebagian ulama berpendapat: “Seyogyanya harapan lebih didominasikan tatkala berbuat ketaatan dan didominasikan takut ketika muncul keinginan berbuat maksiat.” Karena apabila dia berbuat taat maka itu berarti dia telah melakukan penyebab tumbuhnya prasangka baik (kepada Allah) maka hendaknya dia mendominasikan harap yaitu agar amalnya diterima. Dan apabila dia bertekad untuk bermaksiat maka hendaknya ia mendominasikan rasa takut agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat. Sebagian yang lain mengatakan: “Hendaknya orang yang sehat memperbesar rasa takutnya sedangkan orang yang sedang sakit memperbesar rasa harap.” Sebabnya adalah orang yang masih sehat apabila memperbesar rasa takutnya maka dia akan jauh dari perbuatan maksiat. Dan orang yang sedang sakit apabila memperbesar sisi harapnya maka dia akan berjumpa dengan Allah dalm kondisi berbaik sangka kepada-Nya. Adapun pendapat saya sendiri dalam masalah ini adalah: hal ini berbeda-beda tergantung kondisi yang ada. Apabila seseorang dikhawatirkan dengan lebih condong kepada takut membuatnya berputus asa dari rahmat Allah maka hendaknya ia segera memulihkan harapannya dan menyeimbangkannya dengan rasa harap. Dan apabila dikhawatirkan dengan lebih condong kepada harap maka dia merasa aman dari makar Allah maka hendaknya dia memulihkan diri dan menyeimbangkan diri dengan memperbesar sisi rasa takutnya. Pada hakikatnya manusia itu adalah dokter bagi dirinya sendiri apabila hatinya masih hidup. Adapun orang yang hatinya sudah mati dan tidak bisa diobati lagi serta tidak mau memperhatikan kondisi hatinya sendiri maka yang satu ini bagaimanapun cara yang ditempuh tetap tidak akan sembuh.” (Fatawa Arkanil Islam, hal. 58-59)
Macam-macam khouf
Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan, Takut itu ada tiga macam:
1. Khouf thabi’i seperti halnya orang takut hewan buas, takut api, takut tenggelam, maka rasa takut semacam ini tidak membuat orangnya dicela…. akan tetapi apabila rasa takut ini …. menjadi sebab dia meninggalkan kewajiban atau melakukan yang diharamkan maka hal itu haram.
2. Khouf ibadah yaitu seseorang merasa takut kepada sesuatu sehingga membuatnya tunduk beribadah kepadanya maka yang seperti ini tidak boleh ada kecuali ditujukan kepada Allah ta’ala. Adapun menujukannya kepada selain Allah adalah syirik akbar.
3. Khouf sirr seperti halnya orang takut kepada penghuni kubur atau wali yang berada di kejauhan serta tidak bisa mendatangkan pengaruh baginya akan tetapi dia merasa takut kepadanya maka para ulama pun menyebutnya sebagai bagian dari syirik. (lihat Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 57)
Al Muhasibi memberikan perhatian khusus pada kekhawatiran dan harapan karena keduanya terkait erat dengan perilaku rohani manusia dan kemauannya untuk menghitung amalannya diri sendiri. Selain itu ia juga mengaitkan kedua hal ini dengan etika-etika keislaman lainnya. Sebab, jika seorang manusia memiliki kedua sifat tersebut maka ia akan menjadi orang yang etis. Ketaatan itu menurut al Muhisibi berasal dari sikap menjauhkan diri dari kemaksiatan. Wana’ berasal dari kata takwa, takwa berasal dari kemauan untuk menghitung amalan diri sendiri. Muhasabah berasal dari kekhawatiran (khouf) dan harapan (roja’), kekhawatiran dan harapan berasal dari pengetahuan tentang adanya janji dan ancaman, sedangkan janji dan ancaman bearasal dari pikiran dan pelajaran.
Al Muhasibi memandang bahwa khouf dan roja’ harus terkait erat dengan prinsip berpegang teguh kepada tuntunan Al Qur’an dan Sunnah Rosulullah saw. Hal ini merupakan salah satu pertanda yang sangat jelas dalam tasaawuf dan pandangan- pandangannya. Oleh karena itu tidak mengherankan bila kita melihatnya mengaitkan antara ibadah dengan khouf dan roja’, antara khouf dan roja’ dengan janji dan ancaman.dengan demikian dimana sesungguhnya letak ucapan Ibn Sina : Zuhud bagi seorang yang bukan arif adalah melakukan suatu transaksi, seakan-akan ia melakukan suatu amalan di dunia ini agar dapat memperoleh upah yang dapat dia ambil di akherat kelak berupa pahala dan ganjaran. Konsep ibadah dan cinta yang mashur di kalangan sufi tidak ada ketyerkaitannya sama sekali dengan rasa takut, harapan atau yang disebut dengan istilah lainnya rasa takut dan keinginan, sebagai suatu pengabdian kepada Allah secara ulus. Dengan mengesampingkan pikiran takut pada neraka dan keinginan untuk meraih surga, konsep cinta dan ibadah mereka merupakan suatu yang tidak benar menurut al muhasibi. Sebab sikap itu bertentanga dengan keterangan Al Qur’an dan Hadits yang menganjurkan kepada kita agar dalam laksanakan kewajiban mengajak orang Utuk beriman, dan melakukan amal sholih harus selalu didasarkan atas rasa takut dan harapan itu. Dalam hadits Qudsi disebutkan bahwa dihari kiamat Allah Berfirman : “Demi keagungan dan kemuliaan-Ku, pada hari ini aku tidak akan menyatukan dua rasa takut dan dua rasa aman dalam diri seorang hamba. Jika ia merasa aman dari-Ku didunia maka akan Aku beri rasa takut di hari Kiamat. Jika merasa Takut kapada-Ku di dunia, maka Aku beri rasa aman di hari kiamat.
Adapun yang berkaitan dengan roja’ Allah mengkaitkannya dengan keimanan pada hari akhir dan amal untuk menghadapinya.Dia melarang kita untuk berputus asa dari mengharap rahmat-Nya : “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” Karena adanya khouf dan roja’ dalam diri seseorang saja dianggap belum cukup. Yang lebih penting lagi adalah bahwa ia tidak keliru dalam menempatkan keduanya, sebab bila keliru menempatkannya kduanya, ia akan menyimpang dari jalan keimanan kepada Allah : “Janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan pula penipu memperdayakan kamu dalam mentaati Allah. (QS. 31:33)
Dasar utama khouf adalah kelembutan hati dan bergetarlah anggota badan ketika berdzikir kepada Allah : Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun (QS. 39:23)
B. Mahabbah
Mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan, atau cinta yang mendalam. Dalam mu’jam al-Falsafi, Jamil Saliba, mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd yakni cinta lawan dari benci Al-Mahabbah dapat pula berarti al-wadud, yakni yang sangat kasih atau penyayang. Selain itu al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhsn yang bersifat material maupun apiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja kepada pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai ytingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan.
Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan pada suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan diatas tampaknya ada juga yang cocok dengan arti mahabbah yang dikehendaki oleh tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhian pada Tuhan.
Mahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah SWT. oleh hamba selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatrakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT.
Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbahadalah cinta dan yang dimaksud ialah cinta kepada Tuhan. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan penertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain wsebagai berikut :
1. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, ytaiti Tuhan.
Dilihat dari segi tingkatannya mahabbah sebagai dikemukakan al saraj sebagai dikutib Harun Nasution ada tiga macam, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq, dan mahabbah orang yang arif. Mahabbah oarng biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan dzikir suka menyebut nama-nama Allah, dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan.senantiasa memuji Tuhan. Selanjutnya mahabbah orang shidiq adalah cinta orang yang kenal pada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasan-Nya, pada ilmu-Nya, dan lain-lain. Sedangkan cinta orang yang arif, adalah cinta orang yang tahu betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai.
Dengan uraian tersebut bahwa mahabbah adalah sesuatu keadaan jiwa y7ang mencintai Tuhan sepenuh hati. sehingga yang sifat-sifat yang dicintai Tuhan masuk kedalam diri yang dicintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.
Pendapat yang terakhior ini ada juga benarnya jika dihubungkan dengan tingkatan mahabbah sebagaimana dikemukakan diatas. Apa yang disebut sebagai ma’rifah oleh al Ghozali itu pada hakikatnya sama dengan mahabbah yang dimaksud adalah mahabbah tingkat ketiga. Dengan demikian kedudukan mahabbah lebih tinggi daripada ma;rifah.
Mahabbah artinya cinta. Hal ini mengandung m,aksud cinta kepada Tuhan. Lebih luas lagi, bahwa mahabbah memuat pengertian yaitu:
a. Memeluk dan mematuhi perintah Tuhan dan membenci sikap yang melawan pada Tuhan.
b. Berserah diri kepada Tuhan.
c. Mengosongkan perasaan di hati dari segala-galanya kecuali dari Zat Yang dikasihi.
Tentang mahabbah dapat dijumpai di dalam Al Qur’an antara lain:
a) Surat Ali Imran Ayat 31 :
Artinya :
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
b) Surat Al Maidah Ayat 54 :
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.
c) Hadits Nabi SAW yang artinya :
“Hamba-Ku senentiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga Aku cinta padanya. Orang yang Ku-cintai menjadi telinga, mata dan tangan-Ku”
Dalam ajaran tasawuf mahabbah dikaitkandengan ajaran yang disampaikan oleh seorang sufi wanita bernama Rabiah Al-‘Adawiyah. Mahabbah adalah paham tasawuf yang menekankan perasaan cinta kepada Tuhan.
Tuhan bukanlah suatu zat yang harus ditakuti, tapi sebaliknya sebagai zat yang harus di cintai dan di dekati. Untuk dapat mencintai dan dekat kepada Tuhan, maka sekarang harus banyak melakuan peribadatan dan dan meninggalkan kesenangan duniawi.
Aliran tasawuf mahabbah kedudukannya sejajar dengan aliran-aliran tasawuf lainnya seperti ma’rifat (pengetahuan), Al-Fana dan Al-Baqa (kehancuran dan ketetapan). Ittihad dapat berbentuk Al-Qulul (pengambilan tempat) ataupun Al-Wujud (kesatuan wujud).
Berbagai sebab yang mengutamakan rasa cinta Allah SWT.
Pertama : Memutuskan interaksi duniawi dan mengeluarkan rasa cinta kepada selain Allah SWT. dari hati. Karena hati dapat di ibaratkan seperti sebuah bejana yang tidak akan muat untuk menampung sebuah cuka, umpamanya, jika tidak dikeluarkan semua air darinya. Allah berfirman dalam Surat Al Ahzab : 4
Artinya :
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya….
Kesempurnaan rasa cinta terdapat jika anda mencintai Allah SWT. dengan segenap hati. dan selama ia berpaling kepada selain Allah SWT. berkuranglah rasa cinta terhadap Allah SWT. sepadan dengan air yang masih tersisa dalam sebuah tempayan, berkuranglah banyaknya cuka yang dituangkan kepadanya. Terhadap penunggalan dan kesendirian inilah isyarat firman berikut dalam Surat Al An’am : 91 :
Artinya :
………Katakanlah: "Allah-lah (yang menurunkannya)", kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.
Dan dengan firman berikut dalSurat Fushilat :30
Artinya :
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka,………..
Bahkan dia merupakan arti dari ucapanmu : “La illaha illa Allah” dalam arti tidak ada yang berhak disembah dan yang di cintai selain Dia (Alah). Karena setiap yang dicintai sesungguhlag dialah yang disembah. Sesungguhnya seorang hamba merupakan seorang yang dibatasi, dimana yang disembah itulah yang membatasinya. Setiap orang yang mencintai akan dibatasi dengan apa yang dicintainya. Dan karena itulah Rosulullah Allah SW T Bersabda :
“Barang siapa mengucapkan ‘la illaha illa Allah’ secara ikhlas, dia masuk surga”
Arti ikhlas adalah jika dia memurnikan hatinya terhadap Allah SWT. sehingga didalamnya tidak tersisa sebuah penyekutuan terhadap selain Allah SWT. sehinngga Allah SWT. akan ada sebagai kekasih hatinya, sembahan hatinya dan tujuan hatinya. Sebab yang paling penting, dalam melemahkan rasa cintaterhadap Allah SWT. di dalamnya hati adalah kuatnya rasa cinta terhadap harta dunia. Sebagian darinya adalah cinta terhadap istri, anak, harta, kerabat, kebun binatang, sawah, bahkan rasa gembira dengan mendengarkan kicauan burung yang merdu dan amannya hembusan angina sepoi di waktu fajar, semua itu akan mengacu kepada berbagai kenikmatan duniawi dan secara parallel mengurangi rasa cinta kepada Allah SWT. Sepadan dengan rasa tentram seseorang manusia dengan harta duniawi, berkuranglah rasa tentramnya terhadap Allah SWT. Tidaklah seseorang dating dengan harta duniawi, kecuali sesuai dengan itusegtera pasti berkuranglah kehidupan akheratnya. Sebagaimana seorang manusia tidak akan dekat dengan arah timur, kecuali secara pasti dia akan mejauhi arah barat, sepadan dengan jarak yang ada.
Sebab kedua bagi kuatnya rada cinta adalah kuatnya pengenalan Allah SWT. keluasannya dan dominasinya terhadap hati. hal itu dapa tmenjadi setelah mensucikan hati dari segala kesibukan duniawi dan berbagai interaksinya, berjalan sebagai peristiwa peletakan sebuah benih di bumi setelah membersihkannya dari rerumputan, di mana dia merupakan bagian ke dua. Kemudian dari benih itu tumbuhlah sebuah pohon cinta dan ma’rifat, yaitu kalimah yang baik yang dicontohkan oleh Allah SWT. dalam sebuah firmannya surat Ibrahim : 24 :
Artinya :
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik, seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,
Dan kepadanyalah Allah SWT. mengisyaratkan dengan firman-Nya dalam surat Fatir : 10 :
Artinya :
Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik.
Dalam arti ma’rifah, selanjutnya Allah SWT. berfirman dalam surat Fatir : 10:
Artinya :
…..dan amal yang saleh dinaikkan-Nya……
Maka amal shalih terlaksana seekor unta dan pelayanan bagi ma’rifah.sebagaimana halnya dengan seorang manusia yang mempunyai tabiat secara umum, ketika dia melihat seorang gadis cantik dan memnemukan dengan matanya, dia akan mencintainya dan cenderung kepaanya. Ketika dia mencintainya didapatlah sebuah kenikmatan. Kenikmatan secara eksak akan mengikuti rasa cinta. Tidak mungkin mencapai tingkatan ma’rifat ini setelah melepaskan semua kesibukan duniawa dari hati kecuali dengan pemikiran yang bersih, zikir yang langgeng dan sangat tekun dalam mencari dan memandang secara kontinous di dalam Allah SWT., sifat-sifatnya, kerajaan langit dan semua ciptaannya.
C. Hulul dan Ittihad
Ittihad artinya bahwa tingkatan tasawuf seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Ittihad merupakan suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang di cintai telah menjadi satu. Kemudian salah satu dari merekadapat memanggil yang satu lagi dengan perkataan : Hai aku.
A.R Al Badawi berpendapat bahwa di dalam ittihad yang di lihat hanyasatu wajud. Walaupun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Hal ini terjadi karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud. Sehingga akan terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai dan yang dicintai (sufi dan Tuhan). Dalam ittihad identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu. Hal ini bias terjadi karena sufi telah memasuki fana yang tidak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Ittihad berada dalam lapangan yang kurang terang dan bersama hulul dan tauhid dari paa bagian ilu tauhid dari pada ilmu tasawuf. Para ulama syari’at islam memandang ketiganya bertentangan dengan islam.
Masalah ittihad, hulul, dan tauhid dikalangan sufi tidak banyak dibicarakan. Mungkin ini disebabkan dari pembunuhan tokoh sufi yaitu al Hallaj karena dituduh mempunyai paham Hulul. Sehingga banyak tokoh sufi takut mempersoalkan tersebut agar tidak mempunyai nasib yang sama.
Abu Nasr Al-Tusi didalam bukunya ”Al Luma” mengatakan bahwa Hulul adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya, setelah sifst-sifst kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Sedangkan menurut Al Hallaj Allah memiliki dua sifat dasar ketuhanan yaitu LAHUT dan kemanusiaan NASUT. Hal ini dapatdilihat dalam karya beliau yang menjelaskan tentang teori terjadinya makhluk.
Secara harfiah Hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiannya melalui fana. Menurut keterangan Abuy Nasr al Tusi dalam al Luma’ sebagai dikutip Harun Nasution adalh paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuih manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Didalam teks pernyataan tersebut berbunyi “Sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad (tertentu) dan menempatinya dengan makna ketuhanan (setelah) menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan”
Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari dasaar pemikiran al Halajj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Ini dapat dilihat dari teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya bernama al thawasin.
Dengan cara demikian maka manusia mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya, Hal ini dipahami dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 34 yang berbunyi :
Artinya :
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia denggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Menurut al Hallaj, bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat agar bersujud kepada Nabi Adam, karena pada diri Adam Allah menjelma sebagaimana agama Nasrani. Ia menjelma dalam diri Isa as.
Berdasarkan uraian diatas maka al hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini Hulul pada hakikatnya istilah lain dari al ittihad sebagaimana telah disebutkan diatas.
Tujuan dari Hulul adalah mencapai persatuan secara batin. Untuk itu Hamka mengatakan bahwa al Hulul adalah ketuhanan amenjelma kedalam diri insane telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.
Ittihâd berasal dari kata ittahad-yattahid-ittihâd (dari kata wâhid) yang berarti bersatu atau kebersatuan. Sedangkan ittihâd menurut Abû Yazîd al-Busthâmî secara komprehensif maupun secara etimologis berarti integrasi, menyatu, atau persatuan. Dan secara istilah, ittihâd merupakan pengalaman puncak spiritual seorang sufi, ketika ia dekat, bersahabat, cinta, dan mengenal Allah sedemikian rupa hingga dirinya merasa menyatu dengan Allah. Ittihâd dicapai dengan beberapa proses (maqâmât) dengan tazkiyat al-nafs hingga melewati mahabbah dan ma‘rifah kemudian mengalami fanâ’ dan baqâ’ sebagai pintu gerbang menuju ittihâd. Dengan kata lain sebelum mengalami ittihâd para sufi harus mengalami al-fanâ’ ‘an al-nafs dan al-baqâ’ bi Allâh. Fanâ’ secara etimologis berarti keluruhan diri kemanusiaan, hancur, lenyap dan hilang. Sedangkan baqâ’ secara etimologis berarti kekal, abadi, tetap dan tinggal. Adapun pengalaman syathahât seperti yang dialami oleh Abû Yazîd al-Busthâmî yang terkenal dengan ucapan-ucapannya yang nyeleneh (syathhiyyât atau syathahât) yaitu subhânî (tak berarti lain kecuali subhân Allâh) karena ia telah mengalami keluruhan diri kemanusiaannya (fanâ’) dan baqâ’. Dan contoh dari syathahât adalah seperti yang dialami olehnya.
Hulûl secara etimologis berasal dari kata hall-yahull-hulûl berarti berhenti atau diam. Menurut Abû Manshûr al-Hallaj dalam tasawuf filosofis menyatakan bahwa hulûl adalah pengalaman spiritual seorang sufi sehingga ia dekat dengan Allah, lalu Allah memilih kemudian menempati dan menjelma padanya. Konsep hulûl dibangun di atas landasan teori lâhût dan nâsût. Lâhût berasal dari perkataan ilâh yang berarti tuhan, sedangkan lâhût berarti sifat ketuhanan. Nâsût berasal dari perkatan nâs yang berarti manusia; sedangkan nâsût berarti sifat kemanusiaan. Al-Hallaj mengambil teori hulûl dari kaum Nasrani yang menyatakan bahwa Allah memilih tubuh Nabi Isa, menempati, dan menjelma pada diri Isa putra Maryam. Nabi Isa menjadi Tuhan, karena nilai kemanusiaannya telah hilang. Hulûl Allah pada diri Nabi Isa bersifat fundamental dan permanen. Sedangkan hulûl Allah pada diri al-Hallaj bersifat sementara; melibatkan emosi dan spiritual; tidak fundamental dan permanen. Al-Hallaj tidak menjadi Tuhan dan tidak menyatakan Tuhan, kecuali ucapan yang tidak disadarinya (syathahât). Al-Hallaj tidak kehilangan nilai kemanusiannya. Ia hanya tidak menyadarinya selama syathahât. Adapun tazkiyat al-nafs adalah langkah untuk membersihkan jiwa melalui tahapan maqâmât hingga merasakan kedekatan dengan Allah dan mengalami al-fanâ’ 'an al-nafs. Out put dari tazkiyat al-nafs adalah lâhût manusia menjadi bening, sehingga bisa menerima hulûl dari nâsût Allah. Pada tahun 301 H/913 M al-Hallaj masuk penjara Baghdad selama 8 tahun karena dituduh terlibat makar dan nodai kesucian agama. Setidaknya ada empat tindakan subversif yang dituduhkan kepadanya. Pertama, ia dituduh memiliki hubungan politik dengan kaum Qarâmithah, gerakan bawah tanah yang hendak menggulingkan pemerintah Abbasiyyah. Kedua, keyakinan al-Hallaj yang mengaku dirinya Tuhan, ketika mengalami syathahât. Ketiga, keyakinan al-Hallaj bahwa ibadah haji bukanlah kewajiban agama yang penting. Dan keempat, keyakinan al-Hallaj tentang wahdat al-adyân (kesatuan agama). Amnesti untuk al-Hallaj tidak terlaksana karena sikap Perdana Menteri yang menghalanginya. Kasus al-Hallaj diputuskan di Mahkamah Syari’ah dengan vonis hukuman mati dan dieksekusi dengan disalib pada tiang gantungan tahun 309 H/922 M. Saya memandang hukum mati yang diberlakukan kepada al-Hallaj lebih karena faktor politik karena sejarah peradaban Islam sangat didominasi oleh politik
D. Wahdad Al Wujud (Kesatuan Wujud)
Wujûd atau wahdat al-wujûd (dalam terjemahan bebas berarti kesatuan wujud) menurut mutakallim (teolog) adalah sifat wajib bagi Tuhan. Maka Ia memiliki wujud, alam memiliki wujud. Jadi, ada dua wujud, wujud Tuhan dan wujud alam. Wujud Tuhan mutlak dan absolut, wujud alam relatif dan nisbi. Sedangkan wujud menurut Ibn ‘Arabî adalah pandangan bahwa satu-satunya yang ada di alam ini hanya Allah. Dilihat dari satu sisi yang lain-manusia, dunia, dan seluruh keberadaan fenomenal lainnya-tidak benar-benar ada. Artinya, semua itu dan berada secara terpisah dari-dan, sebaliknya, sepenuhnya tergantung kepada Allah. Selain itu juga, wahdat al-wujûd dipahami dengan dua pemahaman. Pertama, wujud alam adalah wujud Allah, wujud makhlûq adalah wujud khâliq. Segala yang ada adalah pengejawantah-Nya. Wahdat al-wujûd dipandang sama dengan panteisme, paham serba Tuhan. Namun, paham ini mendapat banyak kritikan dari sebagian besar para ulama yang salah satunya adalah Ibn Taymiyyah. Kedua, wahdat al-wujûd dipahami bahwa Tuhan tercermin pada alam dan alam cermin Tuhan. Al-Haqq, Tuhan Yang Maha Benar, ber-tajallî. Alam ciptaan Allah adalah tempat tajallî Tuhan (مظهر إلهي). Al-Khalq tidak memiliki wujud hakikat (yang sebenarnya), ia tergantung kepada al-Haqq, wujud yang mutlak atau wujud yang absolut. Adapun korelasi antara ittihâd, hulûl, dan wahdat al-wujûd adalah persamaan pada tataran esensi yang manifestasinya berbeda dalam bentuk bahasa.
Bagi yang terbiasa hanya dengan penafsiran teologis, penafsiran sufistik tentang tauhid mungkin akan terasa aneh. Dalam bagian ini saya ingin mencoba sedikit menerangkan konsep yang tidak biasa ini. Konsep kesatuan wujud ini (Wahdad Al Wujud) barangkali dapat memberi penjelasan yang lebih rinci tentang tauhid ala sufi ini.
Konsep kesatuan wujud (Wahdad Al Wujud) sendiri sangat komplek dan sulit ditangkap. Untunglah syekh al Akbar Ibn ‘Arabi, penggagas konsep ini memberikan ilustrasi yang cukup jelas tentang bagaimana hubungan antara Tuhan dan alam dalam konsep kesatuan wujudnya. “Wajah sebenarnya satu, tapi jika engkau perbanyak cermin, maka ia menjadi banyak”. Wajah disini merujuk kepada Tuhan, sedangkan cermi merujuk kepada alam. Jadi dalam khayal Ibn ‘Arabi hubungan Tuhan dan alam adalah seperti hubungan wajah dengan cermin. Sedangkan berbagai makhluk yang ada didalamnyatidak lain dari pada baying-bayang wajah yang sama dan satu tetapi terefleksio dalam banyak cermin, sehingga mengesankan keanehan.
Secara lebih jelas pendukung Wihdat al wujud menyebut segala macam benda dan makhluk yang terdapart di alam semesta sebagai manifestasi Tuhan. Tuhan disini bukan dalam arti esensi (Dzat)-Nya yang transenden, tetapi alam arti nama-nama atau sifat-sifatNya yang indah. Hubungan antera nama-nama (sifat-sifat) Tuhan tersebut dengan makhluk yang ada di jagad raya adalah seperti hubungan antara prototype dengan penjelmaannya, atau ide dengan realisasinya dalam bentuk-bentuk nyata. Nama-nama ituy disebut “entitas-entitas yang mapan” yang menemukan aktualisasinya dalam bentuk-bentuk yang beraneka dari makhluk-makhluk dari ciptaanNya, baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Jadi, apapun yang kita temukan di alam semesta ini tak lain daripada manifestasi sifat-sifat atau butir-butir ide dalam pengetahuan Tuhan. Semacam ekspresi lahiriah sifat-sifat Tuhan sehingga alam bias disebut sebaghai aspek lahiriah Tuhan, sedangkan sifat-sifat Tuhan sendiri merupakan aspek tersembunyi atau batuniah dari realitas yang sama. Inilah sebabnya Al Qur’an menyebut Tuhan sebagai yang lahir dan yang batin. Jadi yang lahir dan yang batin adalah Tukan yang sama, yang satu. Rumi menyebut alam sebagai penyamaran Tuhan dalambentuk lahiriah.
Doktrin kesatuan wujud ternyata sangat berpengaruh baik terhadap perkembangan pemikiran tasawuf brikutnya maupun terhadap pemikiran terhadap pemikiran filosofis pasca-Ibn ‘Arabi. Ini bias dilihat misalnya dalam ajaran-ajaran tasawuf sufi-sufi terkenal, seperti Shadr al-Din al Qunawi (W. 1274), Fakhr al Din al ‘Iraqi, dan ‘Abd al Karim Ibrahim al Jili, maupun filosof-filosof irfani iluminasianis seperti Mulla Sadra (W. 1641). Mula sadra melihat seluruh wujud bukan sebagai obyek-obyek yang ada, tretapi sebagai sebuah realitas tunggal. Keanekaan wujud-wujud yang nampak seperti terpisah-pisah di alam semesta terjadi akibat pembatasan Wujud Tunggal tersebut oleh esensi-esensi.
Berbeda dengan Ibn ‘Arabi yang melihat keanekaan makhluk-makhluk yang ada di alam semesta sebagai teofani dari nama-nama ataui sifat-sifat Tuhan, Mulla shadra melihat kesatuan wujud dalam hubungannya dengan aneka naujud sebagai sinar matahari dalam hubungannya matahari itu sendiri. Wujud bagi Mulla Shadra ibarat cahaya dimana ia memiliki perbedaan tingkat intensitas, sementara wujud sendiri merupakan suati reslitas tunggal yang tidak bias dibagi-bagi. Inilah sedikit penjelasan dari sebuah doktrin sufi yang sering membingungkan ita dan bagi orang awam.
Pemahaman hulul wa al-ittihad mengantarkan para sufi pada perkataan wihdah al-wujud. Istilah ini berdasar pola pikir orang-orang sufi bermakna, bahwa dalam hal ini tidak ada yang wujud kecuali Allah. Maka, tidaklah segala yang nampak ini kecuali penjelmaan dzat-Nya semata. Yaitu, Allah. Maha Suci Allah, Rabb kita, Rabb yang Maha Mulia dari apa yang mereka sifatkan. Ibnu Arabi berkata : “Tidak ada yang tampak ini kecuali Allah, dan tidaklah Allah mengetahui kecuali Allah”. Dan termasuk dalam keyakinan ini adalah orang-orang yang mengatakan :”Akulah Allah, Maha Suci Aku”. Seperti, Abu Yazid Al-Bustahmi.[6] Katanya : “Rabb itu haq dan hamba itu haq. Maka, betapa malangku. Siapakah kalau demikian yang menjadi hamba ? Jika aku katakan hamba, maka yang demikian itu haq, atau aku katakan Rabb, sesungguhnya aku hamba”. Dikatakan pula : [7] “Suatu saat hamba menjadi Rabb tanpa diragukan, dan suatu saat seorang hamba menjadi hamba tanpa kedustaan”. Keberanian mereka kepada Allah sampai puncaknya ketika tukang sya’ir mereka, Muhammad Baha’uddin Al-Baithar mengatakan : [8] “Tidaklah anjing dan babi itu melainkan sesembahan kita, dan tidaklah Allah itu melainkan rahib-rahib yang ada dalam gereja-gereja”. Pensyarah kitab Aqidah At-Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi, berkata :”Perkataan yang demikian itu mengantarkan manusia pada teori hulul wa al-ittihad. Hal ini lebih keji daripada kafirnya orang-orang Nashrani. Karena orang-orang Nashrani mengkhususkan menyatunya Alllah hanya dengan Al-Masih, sedangkan mereka memberlakukan secara umum terhadap seluruh mahluk. termasuk keyakinan mereka pula, bahwa Fir’aun dan kaumnya memiliki kesempurnaan iman, sangat mengenal Allah secara hakiki. Termasuk dari cabangnya pula, bahwa para penyembah berhala berada diatas kebenaran, dan mereka sesungguhnya beribadah kepada Allah, tidak kepada lainnya. Keyakinan lainnya, tida ada perbedaan dalam penghalalan dan pengharaman antara ibu, saudara perempuan dan yang bukan mahram. Dan tidak ada perbedaan antara air dengan khamer, zina dengan nikah. Semuanya itu berasal dari sumber yang satu. Dan termasuk cabangnya pula, bahwa para nabi mempersempit manusia. Maha Tinnggi Allah dari apa yang mereka katakan”. [9] Keyakinan semacam ini merupakan puncak tertinggi dari kekafiran, yang dengannya hancurlah seluruh agama, membatalkan seluruh syari’at, dihalalkan seluruh perkara yang diharamkan, dan disamakannya orang yang beriman dengan orang fasik, orang bertaqwa dengan orang binasa, muslim dengan mujrim, yang hidup dengan yang mati. Berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Apakah Kami hendak menjadikan orang-orang muslim seperti orang-orang yang suka berbuat dosa, bagaimana kalian dengan apa yang kalian putuskan. Apakah kalian mempunyai kitab yang dapat dibaca ? [Al-Qalam : 35-37].
Wahdat al wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu Wahdat artinya sendiri, tunggal, atu ksatuan. Sedangkan al wujud artinya ada. Dengan demikian wahdat al wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdat selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Di kalangan ulama’ klasik ada yang mangartikan wahdat sebagai suatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih keil. Selain itu kata al wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sufistik sebagai suatu kesatuanantar materi dan roh, subtansi (hakikat) dan forma (Bentuk) bantara yang tampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan
Pengertian wahdat al wujud yang terakhir itulah yang selanjutnya yang digunakan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan Yuhan hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Harun Nasution lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan, bahwa dalam paham wahdat al wujud nasut yang ada didalam hulul diubah menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haqq (Tuhan). Khalq dan haqq adalah dua aspek bagian sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut haqq, ini merupakan padanan kata al ‘arad (accident) dan al jauhar (substance) dan al zahir (lahir, luar, tampak) dan al bathin (dalam,tidak tampak)
Paham ini juga mengatakan bahwa yang ada di dalam ini kelihatannya banyak tetapi sebenarnya satu. Hal init ak ubahnya seperti orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya. Didalam tiap cermin ia melihat dirinya kelihatannya banyak, tetapi sebenarnya dirinya hanya satu. Dalam fushush al hikam sebagai dijelaskan oleh al Qashimi dan dikutip Harun Nasution, fama wahdatul wujud ini antara lain terlihat dalam ungkapan :”Wajah sebenarnya satu, tetapi jika engkau perbanyak cermin ia menjadi banyak”.
Selanjutnya jika kita membuka Al Qur’an , di dalam akan di jumpai ayat-ayat yng memberikan petunjuk bahwa Tuhan mmiliki unsure zahir dan batin sebagaimna dikemukakan fahalam wahdatuk wujud itu, misalna kit abaca ayat Al Qur’an surat Al Hadid ayat 3 :
Artinya :
Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin[1452]; dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.
Dan dalam surat Luqman ayat 20 :
Artinya :
dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.
Selanjutnya uraian tentang wujud manusia sebagai bergantungf sebagai wujud Tuhan sebagaimana di kemukakan diatas dapat dipahami bahwa manusia adalah sebagai makhluk yang butuh dan fakir. Tuhan aalah sebagai yang MAha Karya. Paham yang demikian sesuai pula dengan isyarat ayat Al Qur’an surat Fathir ayat 15 yang berbunyi :
Artinya :
Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.
Namun pandangan dalam sufi bahwa yang dimaksut dengan dengan yang zahir adalah sifat-sifat Allah yang tampak. Sedangkan yang batin adalah zat-Nya, manusia dianggao mempunyai kedua unsure tersebut karena manusia berasal daru pancaran Tuhan, sehingga antara manusia dengan Tuhan pada hakikatnya satu wujud.
Kata wahdat al wujud berarti kesatuan wujud. Dalam kata bahasa inggris UNITY OF EXISTENCE. Paham ini merubah sifat nasuf yang ada dalam hulul manjadi khalaq dan sifat lahut menjadi haq. Aspek terpenting dan dua hal tersebut ialah aspek hak yang merupakan batin jauhar dan hakikat tiap-tiap yang berwujud.sabagai pokok persoalan wahdad al wujud adalah yang sebenarnya berhak mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Than. Dan wujud selain Tuhan adalah wujud bayangan.
Tuhan adalah Maha Suci, yang Maha Suci tidak dapat didekati kecuali oleh orang suci, dan pensucian roh ini dapat dilakukan dengan meninggalkan hidup kematerian dan dengan mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat mungkin, dan kalau bias hendaknya bersatu dengan Tuhan semasih berada dalam hidup ini.
Hasan al Basri dlam menyempurnakan hidup sufinya didasarkan pada rasa takut dan harapan. Hidup kerohanian beliau dijalani dengan cara hidup zuhud, terhadap dunia, menolak akan kemegahannya, semata menuju kepada Allah, tawakal, khouf, dan raja’ keridhoan Allah. Diantara kata-kata hikmah yang beliau ucapkan ialah “perasan takutmu sehingga bertemu dengan hati tentram lebih baik dan perasaan tentrammu yang kemudian menimbulkan rasa takut”.
Pendirian hidup dan pengalaman tasawuf Hasan Al Basri itu dijadikan pedoman bagi seluruh ahli tasawuf dalam usahanya untuk mencapai kesempurnaan hidup. Ajaran mahabbah yang dibawa oleh Rabiah Ad Dawiah merupakan kelanjutan dari tingkatan kehidupan zuhud yang dikembangkan oleh Hasan Al Basri. Cinta yang murni itu lebih tinggi daripada takut dan pengharapan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aliran-aliran sufi mempunyai banyak keteladanan diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Khouf dan roja’ :
Khouf secara istilah adalah rasa takut dengan berbagai macam jenisnya, yaitu: khouf thabi’i, dan lain sebagainya (akan ada penjelasannya nanti insya Allah) Adapun khosyah serupa maknanya dengan khouf walaupun sebenarnya ia memiliki makna yang lebih khusus daripada khouf karena khosyah diiringi oleh ma’rifatullah ta’ala.
Roja’ berarti mengharapkan. Apabila dikatakan rojaahu maka artinya ammalahu: dia mengharapkannya (lihat Al Mu’jam Al Wasith, 1/333) Syaikh Utsaimin berkata: “Roja’ adalah keinginan seorang insan untuk mendapatkan sesuatu baik dalam jangka dekat maupun jangka panjang yang diposisikan seperti sesuatu yang bisa digapai dalam jangka pendek
2. Mahabbah
Mahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah SWT. oleh hamba selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatrakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT
3. Hulul dan Ittihad
Ittihad artinya bahwa tingkatan tasawuf seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Ittihad merupakan suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang di cintai telah menjadi satu
Hulûl adalah pengalaman spiritual seorang sufi sehingga ia dekat dengan Allah, lalu Allah memilih kemudian menempati dan menjelma padanya
4. Wihdat al wujud
Wahdat al wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu Wahdat artinya sendiri, tunggal, atu ksatuan. Sedangkan al wujud artinya ada. Dengan demikian wahdat al wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdat selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Di kalangan ulama’ klasik ada yang mangartikan wahdat sebagai suatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih keil. Selain itu kata al wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sufistik sebagai suatu kesatuanantar materi dan roh, subtansi (hakikat) dan forma (Bentuk) bantara yang tampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan
B. Saran
Dari uraian diatas bahwa seorang muslim, haruslah taat pada ajaran yang di tuntunkan oleh Rosulullah kapada kita, salah satunya adalah dengan meneladani ajaran ajaran sufi yang telah kami tulis diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim Hilal. 2002. Tasawuf antara agama dan Filsafat. Jakarta. Pustaka Hidayah.
Mahmud Yunus. 1990. Kamus Arab Indonesia. Jakarta : Hidakarya.
Jamil Shaliba. 1978. al-Mu’jam al-Falsafy, Jilid II, Mesir : Daral-Kitab.
Al Qusyairi al Naisabury, al Risalah al Qusyairiyah, Mesir : Daral Kahir.
Abbudin Nata. 2006. Akhlak Tasaawuf. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Drs. Abudin Nata. 1993. Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf. Jakarta : Rajawali Press.
Mulyadi Kartanegara. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta.: Penerbit Erlangga.
Mustofa.1997. Akhlak Tasawuf. Bandung : CV Pustaka Setia.
Harun Nasution. 1993. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
Prof. Dr. Harun Nasution. 1979. Islam di Tinjau dari Berbagai Aspekny. Jilid II, UI Pres.
Hamka. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta : Pustaka Panjimas.
Prof. Dr. Hamka. 1984. Tasawuf Perkembangan dan Pemurnianya. Jakarta : PT Pustaka Panjimas.
Jumat, 18 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar