BAB I
PENDAHLUAN
1. Latar Belakang
Persoalan Qadha dan Qadar tidak habis-habisnya di bicarakan orang hingga sekarang dan tidak ada kesepakatan pendapat. Perbedaan pendapat dalam soal tersebut terutama karena adanya beberapa ayat Al Qur’an yang pengertian lahirnya saling bertentangan di suatu pihak, beberapa ayat menetapkan pertanggungan jawab manusia atas perbuatannya. Di pihak lain beberapa ayat lainnya menyatakan bahwa Tuhan yang menjadikan sesuatu.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penyusun makalah menemukan berbagai masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Qadha dan Qadar ?
2. Bagaimana mendudukkan Qadha dan Qadar ?
3. Sebutkan dan jelaskan golongan-golongan yang timbul aakibat adanya persoalan perbedaan kesepakatan dalam soal Qadha dan Qadar !
4. Jelaskan kesimpulan terakhir dan pendapat tentang aliran ilmu kalam !
3. Tujuan Makalah
Dalam penyusunan makalah yang berjudul Qadha dan Qadar penyusun mempunyai beberapa tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apa arti Qadha dan Qadar.
2. Untuk mengetahui perkembangan tentang persoalan Qadha dan Qadar dalam beberapa aliran.
BAB II
PEBAHASAN
A. PengertianQadha dan Qadar
Qadha adalah segala perbuatan atau kejadian yang dilakukan atau menimpa manusia secara paksa. Misalnya, manusia melihat dengan mata bukan dengan hidung; mendengar dengan telinga bukan dengan mulut dan tidak mempunyai kuasa atas detak jantungnya. Kilat yang menyambar di langit atau gempa yang menggoncang bumi sehingga manusia terkena bahaya, atau jatuhnya seseorang dari atap kemudian menimpa orang lain sehingga ia mati. Semua perbuatan tersebut termasuk ke dalam pengertian qadha. Oleh karena itu manusia tidak akan dihisab atau dimintai tanggungjawab atas semua kejadian tersebut di atas, dan tidak ada hubunganya dengan perbuatan manusia yang dilakukan karena pilihannya sendiri.
Sedangkan Qadar adalah khasiyat suatu benda yang menghasilkan sesuatu atau mengakibatkan terjadinya sesuatu. Misalnya kemampuan membakar yang dimiliki oleh api; kemampuan memotong yang dimiliki oleh pisau, naluri melestarikan keturunan yang diperuntukkan bagi manusia dan lain sebagainya. Namun demikian, semua khasiyat-khasiyat tersebut tidak mampu melakukan suatu perbuatan kecuali dengan adanya pelaku yang menggunakan khasiyat-khasiyat benda tersebut, yaitu manusia. Sehingga, apabila manusia melakukan suatu perbuatan dengan pilihannya sendiri maka dialah yang dianggap sebagai pelaku, bukan qadar (khasiyat) yang ada pada benda tersebut. Sebagai contoh, jika seseorang membakar rumah dengan api, maka manusialah yang dikatakan sebagai pembakar, bukan api yang mempunyai khasiyat membakar. Oleh karena itu, manusia akan dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan pembakaran tersebut, sebab dialah yang telah memanfaatkan qadar/khasiyat dari api menurut kehendaknya sendiri.
Dengan demikian, manusia mampu memberikan pengaruh dalam usaha mencari nafkah hidup atau dalam perjalanan hidupnya. Dia mampu meluruskan penguasa yang zhalim atau memberhentikannya. Dia mampu pula untuk meruntuhkan sistem kehidupan yang tidak Islami seperti sekarang ini dan menggantikannya dengan sistem kehidupan yang Islami dalam naungan Khilafah Islamiyyah jika dia memang berusaha untuk itu. Dia juga mampu mempengaruhi setiap perbuatannya yang tergolong dalam perbuatan yang memang dikehendakinya
B. Mendudukkan Makna Qadha’ wa Qodar
Terlebih dahulu hendaknya didudukkan apa yang dimaksud Qadha’ wa Qadar menurut para mutakallimin, karena memang para ulama memasukkan Jabariyyah ke dalam kalangan ahli kalam (mutakallimin), sehingga terma yang dipakai dalam tulisan ini adalah terma Qadha’ wa Qadar menurut para mutakallimin. Berikut ini adalah poin-poin yang akan mendefinisikan dan mendiferensiasikan Qadha’ wa Qadar menurut para mutakallimin:
1. Kata Qadha’ wa Qadar dengan menggunakan wawu ‘athaf /(و) (qadha wa qadar) tidak terdapat dalam al-Quran. Dikarenakan, Al-Quran tidak pernah menggunakan istilah “qadha’” dan “qadar” secara bersamaan (qadha wa qadar), melainkan di dalam al-Quran hanya dikenal istilah “qadha’” saja dan “qadar” saja.
2. Makna Qadha’ dan Qadar dalam al-Quran berbeda dengan makna Qadha’ wa Qadar yang dimaksud oleh para ahli kalam, Qadha’ dan Qadar dalam al-Quran memiliki makna bahasa yang banyak, dan juga maknanya terkait dengan perbuatan-perbuatan Allah SWT, bukan perbuatan-perbuatan manusia beserta khasiyat-khasiyat yang ditimbulkannya, lihat semisal QS. 3:47; 6:2; 17:23; 33:36; 41:12; 8:42; 33:38; 89;16; 54:12; 41:10.
3. Dari sisi kemunculan istilah dan maknanya, Qadha’ wa Qadar yang dipakai ahli kalam adalah istilah yang sekadar diadopsi untuk menggantikan istilah “determinisme dan undeterminisme” atau “Keterpakasaan dan Kebebasan Memilih” pada perbuatan manusia.
4. Dari sisi Topik yang diperbincangkan, maka terma “Qadha’ wa Qadar” yang dikenalkan ahli kalam, topiknya mengenai perbuatan manusia dan khasiyat yang lahir dari perbuatan manusia. Sedangkan terma qadha’ dan qadar yang terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah memperbincangkan tentang sifat dan perbuatan Allah SWT.
Dilihat dari keempat poin diatas, jelas bahwa pemakaian istilah qadha’ wa qadar oleh ahli kalam, sama sekali tidak berhubungan dengan istilah qadha dan qadar yang termaktub di dalam al-Quran dan as-Sunnah, baik dari sisi makna, maupun topik yang diperbincangkan. Sesungguhnya inti permasalahan terma “Qadha’ wa Qadar” menurut para ahli kalam (mutakallimin) adalah perbuatan manusia dan khasiyat benda, dilihat dari apakah keduanya itu diciptakan oleh manusia ataukah Allah.
C. Golongan-golongan yang timbul akibat adanya persoalan perdebatan kesepakatan dalam soal Qadha dan Qadar diantaranya :
1. JABRIYYAH
Tokoh aliran ini Jahm Bin Safwan, ia mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan manusia bukan dia yang mengatakan tetapi Allah sendiri. Manusia tidak lain bagaikan nbulu yang di tiup angin, tidak mempunyai gerak sendiri. Dengan demikian aliran Labriyyah telah menurunkan derajat manusia kepada tingkatan yang lebih rendah daripada binatang, bahkan sama dengan tumbuh-tumbuhan.
Jabariyyah secara harfiah berasal dari lafaz al-jabr, yang berarti paksaan. Lafaz ini merupakan antonim lafaz al-Qadr (kemampuan). Secara terminologis, berarti menyandarkan perbuatan manusia kepada Allah SWT. Jabariyyah, menurut mutakallimin, adalah sebutan untuk mazhab kalam yang menafikkan perbuatan manusia secara hakiki, dan menisbatkannya kepada Allah SWT semata.
Oleh karena itu, paham Jabariyyah mengenai Qadha’ wa Qadar tiada lain merupakan salah satu khurafat dan khayalan semata. Iman kepada qadha wa qadar baik dan buruknya dari Allah adalah iman bahwa semua perbuatan yang berada di luar kehendak dan kemampuan manusia itu berasal dari Allah SWT, dan seluurh khasiyat yang terkandung di dalam materi diciptakan oleh Allah SWT, tanpa andil manusia sedikitpun
Alasan-alasan aliran tersebut adalah :
a. Kalau manusia dapat berbuat, berarti dia menjadi sekutu Tuhan, atau sekurang-kurangnya bisa mengadakan perbuatan yang mungki8n tidak tunduk kepada kehendak Tuhan.
b. Ayat-ayat yang menurut lahirnya menyatakan bahwa Tuhanlan yang menjadikan sesuatu, seperti :
“Tuhan yang amenjadikan sesuatu:” (Q S Az Zumar : 62)
2. MU”TAZILAH
Aliran mu’tazilah ini membagi perbuatan manusia menjadi dua bagian yaitu :
a. Perbuatan yang timbul dengan sendirinya.
b. Perbuatan-perbuatanbebas, dimana manusia bisa melakukan pilihan antara mengerjakan dan tidak mengerjakan.
Alas an-alasan akal pikiran :
1. Kalau perbuatan itu di ciptakan Tuhan seluruhnya sebagaimana yang dikatakan aliran Jabriyyah.
2. Pahala dan siksa akan ada artinya, karena manusia tidak dapat mengerjakan baik atau buruk yang timbul dari kehendaknya sendiri.
3. ASY”ARIYYAH
Al-Asy”ari seperti Mu’tazilah juga, membagi perbuatan manusia kepada dua bagian, yaitu perbuatan yang tmbul dengan sendirinya dan perbuatan yang timbul karena kehendak. Dalam perbuatan macam kedua, manusia merasa sanggup mengerjakannya, suatu tanda bahwa ia mempunyai kekuaaan (kemampuan / kesanggupan) yang dapat dipergunakannya.
Kelemahan-kelemahan pendapatnya adalah
a. Sepintas lalu sudah jelas karena Al Asy’ari telah menetapkan adanya kekuasaan pada manusia, sebagai syarat utama terwujudnya pekerjaan dan yang menjadi dasar adanya pertanggungngan jawab baginya
b. Bagaimana hubungan antara kedua kekuasaan, yaitu kekuasaan manusia dan kekuasan Tuhan, dengan perbuatan yang satu, yaitu perbuatan yang keluar dari manusia.
Dengan adanya pembedaan kedua kekuasaan tersebut dimaksudkan agar tidak sama nilainya terhadap terwujudnya perbuatan manusia.
4. MATURIDY
Ia sependapat denganImam Abu Hanifah untuk menentang aliran muta’zilah dan mengatakan bahwa kekuasaan manusia bisa digunakan untuk dua kal yang berlawanan, seperti ketaatan dan manusia bebas mengarahkan (menggunakan) kekuasaannya tersebut.
Penciptaan ada du a yaitu :
a. Penciptaan dari tiada yang hanya di miliki Tuhan saja,
b. Penciptaan dari bahan yang telah ada dengan syarat tertentu yaitu yang dimiliki manusia.
Maturidy menggunakan kata-kata pencipta (Khalq) untuk macam pertama saja, sedang aliran mu’tazilah menggunakan kata-kata tersebut untuk kedua macam penciptaan, akan tetapi baik matiridy maupun mu’tazilah tidak mengatakan bahwa manusia dapat menciptakan sesuatu dari tiada. Jadi berbeda istilah, namun pengertian / isinya sama.
5. IBN RUSYD
Ia mengakui adanya perlawanan antara dalil-dalil syara’. Sebagian ayat Al Qur’an menetapkan adanya jabar, dan sebagian lainnya menetapkan adanya ikhtiar. Bahkan banyak kita dapati satu berisi ayat jabar dan ikhtiar bersama-sama , seperti :
a. Manakala kamu di timpa bahaya sedang kamu telah mendapat kemenangan dua kali lipatannya, lalu kamu katakan, dari manakah datangnya bahaya ini? Katakanlah : datangnya daripada kesalahan kamu sendiri. Bahwasannya Allah itu berkuasa pada tiap-tiapsesuatu. (Ali Imran : 165)
Perkataan “kamu tertimpa bahaya” menunjukkan adanya ketentuan (Qadhar) lebih dahulu sedang perkataan “Datangnya dari pada kesalahan kamu sendiri” jelas mengembalikan sebab kepada mereka sendiri.
b. Apa-apa keebajikan yang kamu peroleh, itulah karunia dari pada Allah, dan apa-apa kecelakaan yang menim[a dirimu sebabnya kesalahanmu sendiri. (An Nisa : 79)
c. Sesungguhnya Allah tidak akan merubah apa yang ada pada suatu bangsa, hingga, hingga manusia itu sendiri merubah apa yang ada pada dirinya. (Ar Ra’du : 11)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam bagian ini akan disimpulkan pendapat ke empat aliran ilmu kalam :
1. ASY’ARIYYAH
a. soal keesaan, digunakan hipotesa yang berlainan denga hipotesa yang ada dalam ayat ke esaan.
b. Tentang sifat yang mengatakan bahwa sifat lain daripada zat, mengandung persamaan Tuhan dengan manusia.
c. Kehendak Tuhan adalah mutlak / bebas.
d. Tidak menghargai kekuatan akal pikiran dalam menemukan sifat baik / buruk sesuatu perbuatan semuanya dikemukakan pada syara’ semata.
Pendapat ini ahli sunah mengatakan apakah sudah benar demikian? Perlu ditinjau ulang.
2. MU”TAZILAH
a. Soal sifat, bahwa sifat itu tidak lain dari zat, didasarkan atas prinsip tidak adanya persamaan Tuha denganmanusia.
b. Al qur’an adalah makhluk.
c. Menghargai akal setinggi-tingginya.
d. Perbuatan-perbuatan Tuhan adalah untuk kepentingan manusia.
e. Tuhan tidak menyalahi janji dalam ancamannya.
3. MATURIDYYAH
a. Sifat baik dan buruk terdapat pada tiap-tiap perbuatan sendiri (Assyariyah : hanya pertimbangan akal semata).
b. Kalam nafsy (ada pada zat Tuhan ) tidak dapat di dengar (Asyariyyah : dapat didengar).
c. Kekuasaan manusia mempunyai pengaruh terhadap perbuatan (Asyariyyah : tidak berpengaruh).
d. Perbuatan Tuhan adalah baik dan terbaik.
4. IBN RUSYD
Pada umumnya Ibn Rusyd paa pembuktian kepercayaan islam dengan bukti-bukti / dalil yang dapat menerima akal dan dapat memperbaiki pendapat aliran Mu’tazilah.
B. Saran
Dalam makalah ini penulis berkeinginan memberikan saran kepada pembaca dalam pembuatan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan – kekurangan baik dari bentuk maupun isinya
Penulis menyarankan kepada pembaca agar ikut peduli dalam mengetahui sejauh mana pembaca mempelajari tentang tafsir dan ta’wil.
Semoga dengan makalah ini para pembaca dapat menambah cakrawala ilmu pengetahuan
Jumat, 18 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar