Jumat, 18 Desember 2009

Hakim - dan sesuatu yang ada padanya - Ushul Fiqh

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Para ulama sepakat bahwa tindakan manusia, baik berupa perbuatan maupun ucapan, dalam hal ibadah maupun muamalah, berupa tindakan pidana maupun perdata, masalah akad atau pengelolaan, dalam syariat Islam semuanya masuk dalam wilayah hukum. Hukum-hukum itu sebagian ada yang dijelaskan oleh al Quran dan al Sunnah dan sebagian tidak. Tetapi Syariat Islam telah menetapkan dalil dan tanda-tanda tentang hukum yang tidak dijelaskan oleh keduanya, sehingga seorang Mujtahid seperti adanya hakim,mahkum alaih,dan mahkum fih dengan dalil dan tanda-tanda hukum itu dapat menetapkan dan menjelaskan hukum-hukum yang tidak dijelaskan tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka pertmasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa arti dari Hakim?
2. Apa arti dari Mahkum ‘Alaih?
3. Apa arti dari Mahkum Fih?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa arti dari Hakim.
2. Untuk mengetahui apa arti dari Mahkum ‘Alaih.
3. Untuk mengetahui arti dari Mahkum Fih.

BAB II
PEMBAHASAN

1. HAKIM (Pembuat Hukum Allah SWT)
Hakim adalah orang yang menjatuhkan putusan. Di antara kaum muslimin tidak ada perbedaan pendapat bahwa sumber hukum syara’ bagi perbuatan mukallaf adalah Allah SWT, baik hukum mengenai perbuatan mukallaf itu telah di jelaskan secara langsung dalam nash yang di wahyukan kepada Rosul-Nya maupun yang di gambarkan kepada para mujtahid untuk mengeluarkan hukum dari tanda-tanda yang di tetapkannya. Oleh karena itu mereka sepakat dalam memberikan pengertian tentang huku syara’ adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan atau ketetapan.
Bila di tinjau dari segi bahasa, Hakim mempunyai dua arti, yaitu :
Pertama : Pembuat Hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber Hukum.
Kedua : Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan.
Hakim termasuk persoalan yang cukup penting dalam Ushul Fiqih, sebab berkaitan dengan pembuat hukum dalam syari’at Islam, atau pembentuk hukum syara’, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya. Dalam Ilmu Ushul Fiqih, Hakim juga di sebut dengan syar’i.
Dari pengertian pertama tentang hakim di atas, dapat diketahui bahwa Hakim adalah Allah SWT. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang di titahkan kepada seluruh mukallaf. Dalam Islam, tidak ada syari’at, kecuali dari Allah SWT. Baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif (Wajib, Sunah, Haram, Makruh, dan Mubah), maupun yang berkaitan dengan hukum Wadhi’ (Sebab, Syarat, Halangan, Sah, Batal, Fasid, Azimah, dan Rukhsah). Menurut kesepakatan para Ulama’ semua hukum diatas tersebut bersumber dari Allah SWT. melalui Nabi Muhammad Saw, maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori instibath, seperti Qiyas, Ijma’, dan metode Instibath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT. Dalam hal ini para Ulama’ Ushul Fiqih menetapkan kaidah : “Tidak ada Hukum, kecuali bersumber dari Allah”
Dari pemahaman kaidah tersebut para ulama’ ushul Fiqih mendefinisikan hukum sebagai titah Allah SWT., yang berkaitan dengan perbuatan orang mukalaaf, baik berupa tuntutan, pemilihan, maupun wadhi’.
Diantara alasan ulama’ ushul fiqih untuk mendukung pernyataan di atas, adalah sebagai berikut :
1) Surat Al An’am 57
ان الحكم الا للّة يقصّ الحقّ وهو خير الفاصلين (الانعام:)
"Menetapkan hukum itu hanya Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya, dan Dia pemberi keputusan yang paling baik” (Qs.Al-An’am:57)
2) Surat Al Maidah 44
ومن لم يحكم بما انزل اللّة فاولئك هم الكافرون(المعدة:)
"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir” (Qs.Al-Maidah:44)
3) Surat Al Maidah 49
واحكم بينهم بما انزل اللّة(الماعدة:)
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah”

Sedangkan untuk pengertian yang kedua tentang hakim di atas, ulama’ ushul fiqih membedakannya sebagai berikut : (Asy-Syaukani : 7)
• Sebelum Nabi Muhammad Saw diangkat sebagai Rosul .
Para ulama’ ushul fiqih berbeda-beda pendapatya tentang siapa yang menemukan, memperkenalkan, dan menjelaskan hukum sebelum di utusnya Muhammad sebagai Rosul. Sebagian ulama’ ushul fiqih dari golongan ahlussunah wal jama’ah berpendapat bahwa pada saat itu tidak ada hakim dan hukum syara’, sementara akal tidak mampu mencapainya. Oleh sebab itu, hakim adalah Allah SWT, dan yang menyingkap hukum dari hakim itu adalah syara’, namun syara’ belum ada.
pada saat nabi Muhammad Saw, belum diangkat menjadi Rosul adalahj Allah SWT, namun akal pun sudah mampu untuk menemukan hukum-hukum Allah SWT, dan menyingkap serta menjelaskan sebelum datangnya syara’.
Dikalangan ulama’ ushul fiqih persoalan yang cukup rumittersebut di kenal dengan istilah “At-Tahsin Wa Al-Taqbih” yakni pernyataan bahwa sesuatu itu baik atau buruk.
• Setelah diangkatnya Nabi Muhammabd Saw, sebagai Rosul dan menyebarkan dakwah Islam.
Para ulama’ ushul fiqih sepakat bahwa hakim adalah syari’at yang tirin dari Allah SWT, yang dibawa oleh Rosulullah Saw, apa yang telah di halalkan oleh Allah SWT, hukumnya adalah halal, begitu pula yang diharamkan oleh Allah SWT, maka hukumnya adalah haram. Juga di sepakati bahwa apa-apa yang di halalkan itu di sebut hasan (baik), di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi manusia. Sedangkan segalka sesuatu yang di haramkan Allah SWT, di sebut Qabih (Buruk), yang di dalamnya terdapat kemadaratan atau kerusakan bagi manusia.
Hakim (yang menetapkan hukum) ialah Allah SWT,dan yang memberitahukan hukum-hukum Allah itu adalah Rasulnya.Kemudian setelah Rasul-rasul dibangkitkan dan sesudah sampai seruanya kepada yang dituju,maka syari’atlah yang menjadi hakim.
Sekarang timbul pernyataan : ” Siapakah yang menjadi hakim terhadap perbuatan mukallaf sebelum Rasul diangkat?” Dalam hal ini ada dua pendapat :
a) Golongan Asy’ariyah oleh Abu Hasan al-Asy’ariyah (874M)
Berpendapat bahwa sebelum dating syara’ tiada hokum terhadap perbuatan mukallaf,,artinya pada masa itu tidak wajib iman dan tidak haram kufur.Firman Allah SWT
وماكنّ معذّ بين حتّي نبع رسولا (الاسرائ:17 )
" Dan kami tidak pernah atau akan menyiksa sehingga mengutus Rasul lebih duhulu”
b) Golongan Mu’tazilah oleh Wasil bin ‘Atha’(700-1049M)
Berpendapat bahwa sebelum Rasul dibangkitkan akallah yang memberitahukan hokum-hukum Allah.Dengan akallah dapat diketahui baik dan buruknya suatu perbuatan atau sifat-sifatnya.Karena akallah setiap mukallaf wajib mengerjakan sesuatu yang baik dan meninggalkan yang buruk.Allah akan memperhitungkanya sebagaimana memperhitungkan yang diperoleh dari syara’.Mereka beralasan dengan firman Allah:
قل لا يستوى الخبيثوالطّيب(الماعدة:)
“Katakanlah!Tidak sama yang buruk dengan yang baik meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu”

Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa Allah akan membalasnya berdasarkan apa yang diketahui oleh akalnya tentang baik dan buruk,sebagaimana juga berdasarkan syari’at yang dibawa utusan-utusa-Nya.Kalau tidak demikian orang-orang yang baik dan jahat sama saja balasanya ,sedang tiap-tiap masa tentu terdapat orang-orang yang baik dan jahat.Andaikata mereka yang baik dan yang jahat dianggap sama dan akan menerima balasanya yang sama diakhirat maka tidak ada keadilan,sedangkan Allah maha adil dan bijaksana.

2. MAHKUM ALAIH
Mahkum Alaihمحكم علية (Subyek hukum) adalah mukallaf yang menjadi obyek tuntunan hukum syara’ (Syukur, 1990: 138). Menurut ulama’ ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai kitab Allah, yang disebut mukallaf (Syafe’I, 2007: 334). Sedangkan keterangan lain menyebutkan bahwa Ulama’ Ushul Fiqih telah sepakat bahwa Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu (Sutrisno, 1999: 103) yang perbuatannya di kenahi khitab Allah SWT, yang di sebut dengan Mukallaf.
Dari segi bahasa Mukallaf di artikan sebagai orang yang di bebani hukum, sedangkan dalam istilah ushul fiqih, mukallaf di sebut juga mahkum alaih (subyek hukum). Mukallaf adalah orang yang telah di anggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT, maupun dengan larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang di lakukan oleh mukallaf akan diminta pertanggungjawabannya, baik di dunia maupun di akherat. Ia akan mendapat pahala atau imbalan bila mengerjakan perintah Allah SWT, dan sebaliknya, bila mengerjakan larangan-Nya akan mendapat siksa atau resiko dosa karena melanggar aturan-Nya, di samping tidak memenuhi kewajibannya. Dan Mahkum alaih juga diartikan orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal,dengan syarat ia mengerti apa yang dijadikan beban baginya.. Jadi, secara singkat dapat disimpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadinya tempat berlakunya hukum Allah.Orang gila,orang yang sedang tidur nyenyak,dan anak yang belum dewasa serta orang orang yang terlupa tidak dikenahi taklif (tuntutan),sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw:
رفع القلم عن ثلاث عن النا ئم حتى يستيقظ وعن الصّبيّ حتّى يحتلم وعن المجنون حتّى يفيق(رواة ابو داود والنسائ)
“Pena itu telah diangkat (tidak dipergunakan mencatat)amal perbuatan tiga orang:Orang yang tidur hingga ia bangun,anak-anak hingga ia dewasa,dan orang gila hingga sembuh kembali”
Demikianlah orang yang terlupa disamakan dengan orang yang tertidur dan tidak mungkin mematuhi asa yang ditaklifkan.

 Syarat-syarat Mahkum Alaih
o Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain
o Orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya (Koto, 2006: 157-158)

3. MAHKUM FIH
Mahkum fih محكم فية(yang dibuat hukum) ialah yang dibuat hukum,yaitu perbuatan mukallaf yang menjadi obyek hukum syara’ (Syukur, 1990: 132). Mahkum fih ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya (Sutrisno, 1999: 120).
Sedangkan menurut ulama ushul fiqh yang dimaksud mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal (Bardisi dalam Syafe’I, 2007: 317).
Mahkum fih juga merupakan perbuatan mukallaf yang berhubungan (sangkutan) dengan hokum yang lima,yang masing-masing ialah :
1. Wajib, yang berhubungan dengan ijab
2. Sunnah, yang berhubungan dengan nadab(mandub)
3. Haram, yang berhubungan dengan tahrim
4. Makruh, yang berhubungan dengan karahah
5. Mubah, yang berhubungan dengan ibahah
 Dari kelima hukum tersebut dapat lah dijelaskan sebagai berikut :
1) Wajib yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan mendapat siksa.Wajib dibagi menjadi dua:
a) Wajib ‘ain : Wajib dikerjakan oleh setiap mukallaf,seperti shalat lima waktu sehari semalaman dan puasa bulan ramadhan.
b) Wajib kifayah : Wajib dikerjakan oleh semua mukallaf,tetapi jika sudah ada diantara mereka yang mengerjakan,lepaslah kewajiban itu dari yang lainnya,seperti menyalati jenazah dan menguburkanya.
2) Mandub(Sunnah) yaitu suatu perkara yang yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapatkan sisa atau dosa.Mandub dibagi menjadi dua:
a) Sunah ‘ain : Setiap orang dianjurkan mengerjakanya,seperti shalat rawatib dan puasa sunah.
b) Sunah kifayah : Suatu pekerjaan yang apabila telah dikerjakan oleh seorang dari jamaahnya,tidak perlu lagi orang lain mengerjakannya,misalnya menjawab salam dalam suatu rombongan.
3) Haram yaitu larangan keras,jika dikerjakan berdosa dan jika ditinggalkan mendapat pahala.
4) Makruh yaitu larangan yang tidak keras,jika dilanggar tidak berdosa,tetapi kalau dikerjakan mendapat pahala,seperti makan petai dan bawang merah.
5) Mubah yaitu sesuatu yang boleh ayau tidak dikerjakan.Kalau dikerjakan atau ditinggalkan tidak berpahala dan tidak berdosa,misalnya makan yang halal dan berpakaian bagus.

 Syarat-Syarat Mahkum Fih
o Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya jelas dan dapat dilaksanakan.
o Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakannya karena Allah semata.
o Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.dengan catatan:
1. Tidak sah suatu tuntutan yang dinyatakan musthil untuk dikerjakan atau ditinggalkan baik berdasarkan zatnya ataupun tidak.
2. Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas nama orang lain.
3. Tidak sah tuntutanyang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia.
4. Tercapainya syarat taklif tersebut (Syafe’I, 2007: 320)
Disamping syarat-syarat yang penting diatas bercabanglah berbagai masalah yang lain sebagaimana berikut:
o Sanggup mengerjakan, tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf.
o Pekerjaan yang tidak akan terjadi, karena telah dijelaskan oleh Allah bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab terhadap rasa iman
o Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan, yaitu yang kesukarannya luar biasa, dalam arti sangat memberatkan bila perbuatan itu dilaksanakan; dan yang tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan atau terasa lebih berat daripada yang biasa.
o Pekerjaan-pekerjaan yang diijinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaran yang luar biasa (Sutrisno, 1999: 121-123).

 Macam-Macam Mahkum Fih
 Ditinjau dari keberadaannya secara material dan syara’ diantaranya adalah:
1. Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’. Seperti makan dan minum.
2. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan.
3. Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa-menyewa.
 Sedangkan dilihat dari segi hak yang teerdapat dalam perbuatan itu, mahkum fih dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
1. Semata-mata hak allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa kecuali.
2. Hak hamba yang tetrkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak.
3. Kompromi antara hak allah dan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina.
4. Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tatapi hak hamba didalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishas (Syafe’i: 2007)

 TAKLIF
Menurut abdul wahab khallaf Hukum taklifi adalah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu pekerjaan oleh mukallaf, atau melarang mengerjakannya, atau melakukan pilihan antara melakukan dan meninggalkannya.
 Dasar Taklif
Dalam islam orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Sebagian besar ulama ushul fiqh berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal danpemahaman.Sebagimana sabda Rasulullah Saw.
Artinya: “Diangkat pembebanan hukum dari tiga jenis orang: orang itu sampai ia bangun, anak kecil sampai baligh, dan orang gila sampai ia sembuh” (HR. Bukhori, Turmudzi, Nasa’i, Ibn Majjah, dan Daru Quthni).
 Syarat-syarat Taklif
o Orang itu telah mampu memahami kitab syar’i yang terkandung dalam Al Qur’an dan sunnah, baik secara langsung atau melalui orang lain.
o Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqh disebut ahliyah syafe’i, 2007: 336-338).

 AHLIYAH (Kemampuan)
Secara harfiah (etimologi) ahliyah berarti kecakapan menangani suatu urusan, misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang maka ia dianggap ahli untuk menangani bidang tersebut. Adapun secara terminologi menurut para ahli ushul fiqh ahliyah adalah suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syara’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ahliyah adalah sifat yang menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’ (Syafe’i, 2007: 339).
 Pembagian Ahliyah
Menurt para ulama’ ushul fiqh, ahliyah (kepantasan) itu ada dua macam yaitu:
1. Ahliyatul Wujub (kecakapan untuk dikenai hukum) yaitu kepantasan seorang untuk menerima hak-hak dan dikenai kewajiban. Kecakapan dalam bentuk ini berlaku bagi setiap manusia, semenjak ia lahir sampai meninggal dalam segala sifat, kondisi, dan keadaannya.
2. Ahliyatul Ada’ (kecakapan untuk menjalankan hukum) yaitu kepantasan seseorang untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum. Hal ini berarti bahwa segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan telah mempunyai akibat hukum (Sutrisno, 1999: 106-109)

 Halangan Ahliyah
Ulama ushul fiqh menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah berubah disebabkan hal-hal berikut:
1. Halangan alami (awaridh samawiyah), yaitu halangan yang datangnya dari Allah dan terjadi di luar kemampuan manusia seperti : gila, dungu, lupa, dan tidur.
2. Halangan tidak alami (awaridh ghair samawiyah), yaitu halangan yang disebabkan perbuatan manusia. (Syafe’i, 2007: 340). Halangan ini ada dua :
a. Dari diri sendiri, yaitu bodoh, mabuk dan alpa.
b. Dari orang lain, yaitu dipaksa

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1.Hakim (pembuat hukum) yang menurut para ulama ushul fiqih adalah firman Allah yang barhubungan dengan perbuatan orang mukallaf,baik itu berupa tuntutan,pilihan ataupun berupa hukum wadh’i. Dari pengertian pertama tentang hakim di atas, dapat diketahui bahwa Hakim adalah Allah SWT. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang di titahkan kepada seluruh mukallaf.
2.Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu (Sutrisno, 1999: 103) yang perbuatannya di kenahi khitab Allah SWT, yang di sebut dengan Mukallaf.
 Syarat-syarat Mahkum Alaih
• Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain
• Orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya (Koto, 2006)
3.Mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal (Bardisi dalam Syafe’I, 2007: 317).
 Syarat-Syarat Mahkum Fih
o Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya jelas dan dapat dilaksanakan.
o Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakannya karena Allah semata.


 Macam-Macam Mahkum Fih
• Ditinjau dari keberadaannya secara material dan syara’ diantaranya adalah:
1. Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’. Seperti makan dan minum.
2. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan.
3. Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa-menyewa.
B. Saran
Adapun beberapa saran yang dapat kami sampaikan yaitu :
1) Agar para pembaca bisa mempelajari makalah yang kami buat dan mengerti isi serta ruang lingkupnya sehingga dapat diambil pelajaran dan diterapkan dalam kehidupan nyata.
2) Semoga para pembaca dapat mengkaji dengan baik dan bisa melengkapi kekurangan makalah yang kami susun.

DAFTAR PUSTAKA


Rifa’i Muhammad. 1973. Ushul Fiqih. Bandung : PT Ma’arief.

Abu Zahrah Muhammad. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta :Pustaka firdaus.

Syafe’i Rachmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung:Pustaka setia.

Wahab khallaf Abdul. 2003. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta:Pustaka amani.

www.Ushul Fiqih.co.id

1 komentar: